Jumaat, Januari 09, 2009

Jangan Pernah Berharap pada Obama

Jangan Pernah Berharap pada Obama
Written by Admin
Friday, 05 December 2008 16:55

Obama tidak pernah peduli pada minoritas Muslim. Kebijakannya pada saat kampanye terlihat sangat konsevatif meski ia berasal dari partai Demokrat. Israel tetap ia jadikan majikan. Jadi, tidak ada yang baru pada seorang Obama. Beberapa waktu lalu Obama memang menjadi fenomena. Namanya, tiba-tiba saja menghiasi berbagai media. Bukan hanya karena ia diperkirakan dengan kuat menduduki gedung Putih pada November mendatang. Tapi juga karena-jika itu terjadi-dia adalah sosok kulit hitam petama yang akan menduduki pucuk pimpinan di Washington setelah ratusa tahun dipimpin oleh kulit putih.

Senator Hillari Clinton, mantan Ibu Negara AS yang kenyang dengan asam garam politik telah ia taklukkan dalam pertarungan sengit dalam konvensi calon presiden Partai Demokrat. Apakah Ia juga akan menundukkan McCain dari Partai Republik 4 November mendatang? Waktu yang akan berbicara. Sayang, tidak sedikit tokoh Muslim yang berharap banyak padanya, bahwa ia akan membawa angin sejuk terhadap dunia Islam, wilayah di dunia yang selalu menjadi sasaran brutal kebijakan Paman Sam. Selain karena ia dikabarkan penah bersekolah di salah satu madrasah di daerah Menteng Jakarta, ia juga berasal dari keturunan Muslim Kenya dari jalur ayah. Namun sayang, harapan itu lebih banyak berseberangan dengan fakta. Tidak banyak yang tahu, bahkan di AS sendiri, bahwa Obama sebetulnya pernah di duduk di Subkomisi Asia Timur dan Pasific di komisi Hubungan Internasional Senat, sub komisi yang banyak mengkover isu-isu Indonesia. Namun, sedikit pun ia tidak pernah menyinggung Indonesia.


Obama tidak pernah menggunakan keanggotaannya di Subkomisi tersebut untuk mengangkat isu-isu penduduk Muslim terbesar di dunia ini karena isu Indonesia adalah isu yang tidak strategis. Selain itu, dan ini yang paling jelas, siapa pun yang berniat menjadi Presiden AS, ia harus mappatabe’ pada Israel dan Lobi Yahudi di AS. Dalam kunjungannya ke Yerussalem beberapa waktu lalu, Obama berjanji akan teguh mendukung dan menjamin keamanan Israel. “Saya berada di sini pada lawatan saya untuk menegaskan kembali hubungan khusus antara Israel dan AS. Komitmen saya yang kekal terhadap keamanannya, dan harapan saya agar dapat bertindak sebagai mitra efektif, baik sebagai senator maupun sebagai presiden, dalam mewujudkan perdamaian yang lebih kekal di wilayah tersebut,” ujarnya. Senator Illinois itu bahkan sempat mengenakan skulacap (kopiah) Yahudi, seraya meletakkan karangan bungaputih di museum peringatan Yad Vashes Holocaust.

Melengkapi komitmennya pada Israel, dalam lawatan ke kota Sderot di Israel selatan, Obama mengingatkan bahwa Iran akan menjadi ancaman bagi keamanan dunia.”Iran yang memiliki nuklir akan menjadi ancaman besar dan dunia harus mencegah Iran memiliki senjata nuklir,” tegas Obama. Praktis, dunia Islam tak perlu berharap banyak pada Obama, sebab siapapun presiden AS, majikannya tetap sama: Israel. Koran terkemuka New York Tiimes beberapa waktu lalu menurunkan jajak pendapat tentang hubungan Presiden AS dan Israel. Dalam polling yang mengambil sample responden dari Baitul Maqdis hingga pegunungan Amman dan Mesir, menyimpulkan: “Siapapun yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu AS, Gedung Putih tetap akan mendukung setiap aksi kejahatan Israel terhadap warga Palestina”.

Mahmud Ibrahim, seorang mahasiswa Yordania, menulis dalam artikel yang berjudul Mideast Sees More of the Same if Obama Is Elected, “Kami hanya memahami bahwa semua presiden AS selalu mendukung Israel”. Tanggapan yang lebih keras datang dari Walid Ghalib, warga Amman, Obama lebih mirip bunglon. Suatu hari ia bersama Palestina tapi di lain waktu ia bersama Israel. “Semuanya sama. Bagi kita tidak ada apapun yang berubah,” simpul Walid. Lebih buruk lagi, Obama seakan tidak mau peduli pada minoritas Muslim di AS yang berjumlah sekitar 6-7 juta atau tiga persen dari total penduduk AS yang berjumlah 300 juta orang. Pada pemilu 2004 lalu para kandidat presiden ramai-ramai memperebutkan hati ummat Islam. Bahkan, George Bush, sang aggressor Irak, selalipun. Tapi beda dengan Obama. Tidak pernah ada waktu untuk berjumpa dengan tokoh Muslim Amerika. Undangan dialog dan tatap muka dari mereka tak kunjung disambut. Abdul Aziz Ali Salim, pemuda 23 tahun asal Minnesota, menyesalkan sikap Obama terhadap minoritas Muslim AS. Seolah-olah, katanya, Obama merasa akan dihunjam persoalan politik saat mendelati warga Muslim. Kegusaran serupa juga dirasakan oleh Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR).

Memang begitulah adanya. Di masa kampanye memperebutkan kursi calon presiden dari Partai Demokrat, Obama dihajar isu sebagai Muslim. Ia dituduh sebagai sosok “Muslim dalam baju Protestan”. Sebuah majalah AS bahkan menampilkan Obama dan Istrinya dengan pakaian Muslim dalam kovernya. Maka jangan heran jika jajak pendapat yang diadakan oleh koran terkemuka Inggris The Daily Teleghraph menyebutkan, satu dari delapan warga AS meyakini Obama sebagai seorang Muslim. Bisa ditebak akhirnya, secara luar biasa dan mati-matian, Obama menegaskan dirinya sebagai penganut Protestan dan selama 20 tahun aktif datang ke Gereja. Ia bahkan memasang situs internet khusus untuk membantah ‘tuduhan’ bahwa ia seorang Muslim yang ia nilai sebagai tuduhan keji. Tidak hanya itu, tim kampanye Obama beberapa waktu lalu meminta dua wanita berjilbab untuk menghindar dari jepretan kamera dalam kampanyenya di Detroit, AS 19 Juni lalu, saat mantan Wapres AS memberikan dukungannya pada Obama. Bukan sekedar minta menghindar, relawan kampanye Obama juga meminta wanita Muslimah tersebut untuk menanggalkan jilbabnya jika ia ingin tetap berada di tempat duduknya.

Kepada majalah Politico, Hebba Aref, salah satu perempuan Muslimah tersebut mengatakan dengan nada kesal ,”Pesan yang saya pikir disampaikan pada kami adalah mereka tidak ingin dia (Obama) terkait dengan Muslim atau para pendukung Muslim. ” Walau begitu, mayoritas warga Muslim AS tampaknya akan tetap memilih Obama. Bukan karena Obama sebagai sebuah harapan, tetapi lebih pada sebuah pertimbangan bahwa Obama memiliki resiko lebih ringan dari pada rivalnya McCain, kandidat Partai Republik yang terkesan hobi perang. Ini menunjukkan bahwa lagi-lagi, sampai saat ini, warga Muslim AS, masih dihadapkan pada pilihan yang dilematis, sama dengan yang sudah-sudah. Dalam pemilu sebelumnya, mereka memilih Bush. Meski Bush hobi perang , tapi ia menentang praktek aborsi, legalisasi hubungan sesama jenis dan berbagai pasal-pasal moral yang disepakati oleh agama-agama samawi. Tapi situasi saat ini nampaknya lebih rumit, mengingat Obama jelas-jelas membangun jurang komunikasi dengan warga Muslim ,apapun langkah dan sikapnya. Hasil polling yang diadakan oleh lembaga survei Amerika View Centre mengamini kesimpulan tersebut, dimana hanya 11 warga Muslim yang mendukung PArtai Repulik. Dan yang menarik 63 persen yang mendukung Partai Demokrat.

Langkah Obama guna menarik simpati, tidak hanya mencederai citranya di depanpara pemilih Muslim. Ia bahkan rela mengorbankan idealism demokratnya, dengan merangkul ide-ide konservatif yang biasanya diusung oleh kandidat Partai Republik. Sebagai contoh, kalangan aktivis Partai Demokrat habis-habisan menolak rancangan undang-undang yang mengizinkan pemerintah untuk mengakses pembicaraan telepon dan email yang dicurigai. Tapi justru Obama mengajukan jalan tengah untuk menyelesaikan silang pendapat ini.

Begitu pula sikap Obama yang mendukung Mahkamah Agung AS yang membatalkan larangan kepemilikan senjata. Sikap ini jelas-jelas bertentangan dengan sikap kaum Liberal. Sikap konservatifnya juga Nampak pada pidatonya di hadapan KomiteUmum Hubungan Amerika-Israel (AIPAC) pada 4 Juni lalu yang menyebut Iran sebagai ancaman perdamaian di Timur Tengah. Sikap ini membuat pendukung Partai Republik mengalihkan dukungannya pada Obama. Dengan begitu, bias disimpulkan tidak ada yang baru pada seorang Obama. Pemilihan Presiden AS tak lebih dari sebuah pentas yang sudah diatur. Cerita dan skenario selalu sama. Semua pemain yang ingin manggung harus taat alur jika tidak ingin terdepak penjaringan calon hanya sebuah sarana mengetahui sejauh mana kesetiaan stiap kandidat pada cita-cita AS dan Israel. Dua kandidat, satu tipe. Jadi, jangan pernah berharap pada Obama. Sumber: Majalah al-Mujtama’
Last Updated on Friday, 05 December 2008 17:10

http://wimakassar.org/buletin-al-balagh/2-buletin/10-jangan-pernah-berharap-pada-obama.html

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

SILA BERI KOMEN ANDA DISINI